AD-DHIYA'

Tuhan, Jadikanlah Aku Cahaya!


Ulang Tahun Lagi

Dan ternyata waktu seakan cemburu padaku. Dia mencebik saat melihatku. Bibir mugilnya yang dahulu pernah selalu tersenyum, ditarik condong, bibirnya menggetap. Ah, apakah waktu juga punya kecemburuan? Andai sahaja Imam Syafie masih hidup pasti akan ku tanyakan soalan ini padanya. ‘Masa itu boleh menjadi sebilah pedang yang memotong’, kata beliau. Kufikir benar. Dan kecemburuan seringkali berakhir dengan kesedihan. Kerna cemburu, Habil menjadi mangsa korbannya Qabil. Nah, kerna cemburu, barangkali aku akan menjadi mangsa waktu. Dipotong dan dicincang lumat-lumat. Oh, tidak!

Kulihat jam bulat di atas para-para. Jarum detiknya melangkah perlahan melintasi ekor angka lima. Tik...tik...tik... Di angka dua belas, jarum pendek hampir lena dalam dakapan mesra jarum menit. Menyedari kehadiran jarum detik, jarum menit segera melepaskan pelukannya. Tik...

***

Waktu sore seperti ini, kafe makanan selalu dipenuhi perempuan. Ku kira kafe ini layaknya dikhaskan untuk mereka. Di kalangan lelaki bisa ku hitung dengan jari, tiga empat dan aku, lima. Aku jadi canggung. Jika sahaja perut ini tidak mengadu kelaparan, mahu sahaja aku pergi, daripada terseksa menunggu berpuluh minit di sini. Penantian suatu penyiksaan.

Beratus-ratus mata sedang asyik tertumpu pada sebuah tv yang ku kira bakal meletup tidak lama lagi kerna tiada henti beroperasi. Rancangan sinetron dari kota seberang ternyata mencuri perhatian. Di kaunter gerai, makcik berbadan gempal hampir kering tekak berteriak memanggil nama-nama mereka – yang membuat tempahan makanan -. Nun di gerai hujung, wanita bermake up tebal – tudungnya seperti bonggol unta -, turut melakukan hal yang sama sambil menekan-nekan loceng. Kring...kring...kring...

“Minah Jongang...”

“Puteri Lilin...”

“Mawar Berduri...”

 “Awek Cute...”

“Bla...bla...”

Saya tersenyum bercampur kasihan. Senyum mendengar nama-nama yang lucu itu dan kasihan dengan makcik serta wanita bertudung bonggol unta itu. Gila!

Seandainya tsunami datang dari arah pantai Tok Jembal, aku yakin tiada seorang yang akan terselamat melainkan tenggelam bersama tv dan cerita sinetron itu. Mana tidak, hampir tiada seorang yang menyahut panggilan-panggilan itu. Semua telah terkena sihiran.

Di tengah keramaian itu, ada seorang wanita lalu tepat di hadapanku. Ku lihat penampilannya sangat sopan dan terjaga, menggoda perhatianku. Pakaiannya tertutup rapi. Jauh berbeda dengan perempuan-perempuan peminat sinetron itu. Aku mencuri pandang. Ku sangka dia tidak menduga liar mataku, lalu sekilas dia melemparkan pandangan, bola mataku dan matanya bertemu menjadi empat. The magic four!

***

Tik...

“Nah, pukul 12.01 pagi...” bermakna sudah 29 September. Aku kini berada di masa yang baru, usia yang baru. Dan rasanya baru kemarin aku menghirup teh dicicah gula bersama tepung susu.

Aku hampir tidak percaya, masa yang dahulu hanya pandai merangkak kini sudah bisa berlari. Malah lebih laju dari Usain Bolt, pelari pecut nombor satu dunia itu. Dasyhat!

Aku rasa dunia ini hampir kiamat. Ada hadisnya. Tidak akan terjadi kiamat sehingga masa menjadi singkat. Setahun dirasakan seperti sebulan dan sebulan dirasakan seperti seminggu dan seminggu dirasakan seperti sehari dan sehari dirasakan seperti satu jam dan satu jam dirasakan seperti satu petikan api. Nah, perhatikan, dahulunya kita merasakan dalam sehari banyak perkara yang dapat kita lakukan, tapi sekarang dalam sehari yang sama hanya sedikit perkara-perkara yang dapat kita laksanakan. Benarkan?

Masa akan terus berlalu begitu cepat, barangkali sepantas gerakan cahaya, celeritas 299,792,458 meter sesaat atau lebih kurang 30 sentimeter per nanosaat.

to be continue...


Dhiya'
Gong Badak
2 Zulkaedah 1432H

Bukan Siapa-Siapa...

“Enta sampai bila?” soal al-Mukarram bersama senyuman cinta.

“Lama tak jumpa ‘syeikh’. Walimah ke?” canda Syeikh Mizi usai kuliah malam itu. Saya rindukan panggilan itu.

Syukur saya dapat bertemu keduanya dan menatap wajah mereka, sekurang-kurangnya rindu saya terubat.

Minggu pertama kuliah saya sakit-sakitan. Bermula dengan demam panas dan selesema, kemudian bertukar menjadi batuk yang sangat teruk. Kemuncaknya saya diserang sesak nafas yang menggila, tubuh terasa lemah dan tidak berdaya. Nafas berada dihujung nyawa.

Oh, mujur Tuhan Maha Penyayang!

Saya dikelilingi orang-orang yang lembut hatinya. Sabri teman sekuliah segera membawa saya ke klinik universiti. Dan setelah mendapat rawatan, sesak nafas semakin berkurangan. Tapi tubuh masih terasa lemah dan kelemasan. Dan ternyata sewaktu dalam kuliah, teman-teman dapat membaca bahasa tubuh saya.

“Zaid sihat?” tanya mereka berkali-kali.

Mereka Bukan Siapa-Siapa...

Barangkali pada setiap patah yang tertulis ini, tercalit sedikit emosi.

Jujur, apa yang saya rasakan saat ini tidak mampu saya hembuskan melalui bahasa lisan. Atau saya paparkan dengan bahasa badan. Kerna tidak semua yang dirasakan manusia mampu diterjemahkan cara begitu. Cinta saya kepada teman-teman, kasih sayang dan penghormatan saya terhadap mereka, hanya mampu saya contengkan pada tulisan jelek ini, hanya mampu saya goreskan melalui pena yang tumpul ini, hanya itu setakat ini.

Sehingga detik yang berlalu ini saya masih sayangkan mereka.

Mereka bukan siapa-siapa...

Tapi mereka telah pernah menjaga dan merawat saya ketika sakit.

Mereka telah pernah menyuapkan saya makanan ketika tangan tidak mampu bekerja.

Mereka tidak merasa keji memandikan manusia hina ini, ketika tubuh badan lemah tidak berdaya.

Mereka menyediakan makanan dan minuman. Membasuh pakaian. Berulang-alik hingga hari larut malam. Sehingga ada yang demam dan sakit-sakitan kerna kurang tidur. Masa menelaah pelajaran dikorbankan.

Mereka pernah menangis kerna saya. Air mata cinta dan kasih seorang teman kepada teman.

Mereka bukan siapa-siapa...

Mereka tidak pernah difahamkan tentang rukun bai’ah. Mereka bukan orang haraki atau usrahwi. Mereka tidak duduk dalam sistem tarbiyyah, tamrin, mukhayyam etc. Mereka bukan pendakwah seperti mereka yang mengaku-aku ‘daie @da’iyah. Mereka bukan pejuang seperti mereka yang mengaku-aku ‘pejuang agama’. Mereka bukan sufi seperti mereka yang mengaku-aku ‘sufi haraki’. Bukan kaki masjid, bukan si kopiah, bukan si alim dan si wara’ atau ahli ibadah. Mereka bukan siapa-siapa. Mereka biasa-biasa sahaja. Mereka orang biasa yang luar biasa.

Mereka bukan siapa-siapa...

Tapi Allah telah memuliakan mereka. Daripada manusia yang bukan siapa-siapa menjadi SIAPA. “Tidak sempurna iman seseorang daripada kalangan kamu, sehinggalah ia mencintai temannya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri...”

Ya, mereka bukan siapa-siapa. Tapi mereka punya cinta.

Cinta seorang teman kepada temannya. Sempurnalah iman mereka!

Tuhan, jika saya salah menulis semua ini. Mohon agar ampunkan khilaf hamba. Hamba bukan mahu berlebih dalam berkata. Tapi hamba mahu meluah rasa. Rasa seorang hamba yang merasa kasih sayang dan belaian ‘tangan’ Mu.

Dalam segala musim, Tuhan selalu penyayang. Itu yang saya rasakan.


Dhiya’
Gong Badak
29 Syawwal 1432H

My September


Selama dalam ingatan, aku belum pernah merayakan ulang tahun, bahkan tidak pernah peduli hari kelahiran. Waktu masih kecil, aku sering cemburu pada teman-teman sepermainan yang sering berbicara tentang hari ulang tahun mereka dan betapa mereka sangat gembira. Ya, perkara ulang tahun tidak pernah tercatat dalam diari kehidupan anak melayu miskin seperti aku.

Agung, teman karibku – ayahnya seorang mandur syarikat perkapalan - sering dihadiahi barang mainan oleh orang tuanya. Adiknya Trojan yang buta sebelah mata selalu diraih dengan pesta jamuan makan; memotong kek, menangkap gambar kenangan, mendapat hadiah - bertingkat-tingkat di atas meja, seperti batu-bata tersusun -. Al-al sering iri pada abangnya Trojan. Mono yang berlagak kaya juga tidak mahu kalah, dipujuk ayahnya agar membuat pesta besar-besaran di rumah. Untungnya aku, dapat menikmati jamuan enak-enak yang tidak akan pernah dapat dirasai atau aku nikmati di dalam rumah sendiri, cumanya aku tidak mendapat hadiah seperti mereka. Hadiah? Ah, itupun tidak pernah terlintas dibenakku. Tapi sejak itu aku mendapat tahu bahwa pada hari ulang tahun orang-orang memberikan hadiah.

Ketika memasuki sekolah rendah. Sebetulnya waktu itu aku baru darjah empat, aku tidak faham kenapa dan untuk apa orang merayakan hari ulang tahun. Ku tanyakan pada ibu dan ayah, ternyata mereka juga tidak memberikan jawapan tepat. Padahal diam-diam, sebenarnya aku berharap agar mereka merayakan ulang tahunku, walaupun mungkin mereka telah lebih dahulu menghidu maksud pertanyaanku, atau aku sudah tahu bahwa mereka tidak akan pernah mampu. Lalu tinggallah ulang tahun dan hadiah hanya sebagai angan-angan yang sering muncul dalam tidur, menjadi mimpi indah dalam hari-hari kehidupanku. Tanpa dendam, tanpa kesedihan.

Tetapi, kebelakangan ini aku sering menanda bulat nombor 29 September pada kalendar tahunan. Selepas itu, aku berjanji untuk selalu memberikan hadiah pada diriku sendiri. Dan setiap kali aku melihat kalendar, aku akan tersenyum bahagia sambil menantikan tanggal yang ku tandai itu. Bagiku, nombor itu telah menjadi spekulasi yang  mendebarkan. Ibarat seorang pemuda yang menunggu kekasihnya, kerna istimewanya untuk cinta. Namun aku menanti dengan dada yang penuh kerna semua itu bukan ilusi.

“29 September...wah suda semakin dekat..” aku berkira-kira. Menghitung jari-jari kecil satu persatu..dua..tiga.. Oh waktunya sudah hampir dekat.

Maka biarlah aku tidak akan pernah merayakan ulang tahun atau mendapatkan hadiah dari sesiapa, setidaknya aku tahu bahwa ulang tahun adalah detik-detik istimewa yang ditunggu-tunggu dalam kehidupanku. Ia adalah hari yang penuh berharga.

Dan sehingga waktu ini aku merasa senang setiap kali menjelang hari ulang tahun. Kerna bagiku, menunggu hari ulang tahun tidak ubahnya seperti menempatkan diri pada suatu titik waktu di hadapan.

Ulang tahun datang lagi...


Dhiya’
Kuala Terengganu
27 Syawwal 1432H

Malaikat Kecilku



Rasanya baru semalam saya meninggalkan kampung halaman, tapi seolah terasa setahun sudah. Kenapa seperti ini ya?

“Bu, Adam bagaimana?”

“Daniel?” soal saya dihujung talian.

Seperti baru kemarin saya ikut bermain-main bersama dua malaikat kecil itu. Daniel dan Adam. Saya tatap gambar mereka. Oh, ternyata saya kerinduan. Rindu pada malaikat kecilku. Adam dan Daniel.

Dua malaikat kecil itu, kini menginjak usia setahun lebih. Cuti Ramadhan dan Eidulfitri terhias indah dengan keberadaan mereka. Sebahagian masa-masa cuti terukir indah dalam kenangan bersama mereka.

Menjaga, menyusukan, menidurkan, menemani mereka bermain-main...

Saya jadi rindu untuk mengusap-usap ubun-ubun mereka. Mencium perlahan lalu berdoa di dalam hati, ‘Semoga menjadi anak soleh ya...ameen!’

ADAM

Sebenarnya saya risaukannya, kerna sewaktu meninggalkannya pergi, dia sakit-sakit. Semalaman dia menangis menahan sakit, nafasnya turun naik laju, jantungnya berdegup kencang, dia sakit! Saya jadi ikut sebak ketika melihatnya. Ibu dan neneknya sampai tidak bisa tidur.

Sewaktu tiba di unversiti saya terus bertelefon, menanyakan keadaannya. Syukur dia sudah baik setelah dirawat di hospital.

Adam,
Anak comel yang sangat aktif. Sepanjang hari tidak henti-henti ber’aksi’. Memaksa saya untuk sama menjaganya, melayan karenah kecilnya. Dia suka pen dan buku. Jadi saya selalu memancingnya dengan itu. Habis buku-buku dicontengnya, termasuk kitab-kitab saya. Adam...Adam...

Adam juga turut sama bersahur dan berbuka puasa. Dia tidak mahu disuap orang. Mahunya biar dia sendiri yang memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Adam...Adam...

Dan Adam hanya akan diam apabila tidur. Adam...Adam...

‘Semoga jadi anak soleh ya...’

DANIEL.

Lebih tua beberapa bulan dari Adam. Rambutnya beralun kuning keemasan. Orang-orang jadi asyik setiap kali melihatnya. Barangkali terpesona dengan rambutnya, persis seperti ayahnya sewaktu kecil.

Daniel,
Sejak dia lahir saya belum pernah melihatnya. Baru semasa pulang beraya saya bertemu dan dapat bersua dengannya yang ternyata sudah tumbuh membesar. Ketika pertama kali mahu mendekatinya sangat sukar sekali. Kata ibunya, dia hanya mahu dekat dengan lelaki, tidak perempuan selain ibu, nenek dan auntynya. Tapi kenapa dengan saya tidak mahu? first time ketemu barangkali.

Kata ibunya lagi, jika orang mahu mendekatinya dan bermain-main dengannya perlu berbahasa Inggeris. Dan ternyata ibu dan ayahnya hanya berbahasa inggeris dengannya. Meski dia belum bisa bercakap, tapi dia faham..

‘this is dirty baby, please throw out...’ mendengar ibunya berkata, dia terus mengerti, lalu berjalan-jalan anak membuang benda yang ada ditangannya ke luar rumah. Melihat gelagatnya, saya tersenyum gembira dan bahagia.

Sewaktu berangkat pergi, Daniel ikut menghantar bersama ayahnya. Dia malah malu-malu mencium tangan saya apabila diminta ayahnya. Good boy!

‘Semoga jadi anak soleh ya...’

Tolong Ameen ‘kan ya

‘aih, si apex. Belum jadi bapa sudah pandai jaga baby...’ gurau kakak ipar semasa hendak menidurkan malaikat kecil itu.

Saya tersenyum. Dalam hati saya berdoa semoga nanti saya bisa menjaga dan mengasuh anak dengan lebih baik. Mencurahkan kehidupan mereka dengan rasa cinta dan kasih sayang.

Ameen ya Rabb!

Malaikat kecilku, terus tumbuh membesar ya. Semoga menjadi anak soleh...!


Dhiya’
Kampus KUSZA
17 Syawwal 1432H

Mengajarkan Cinta


Fajar telah menyelak kegelapan hari
Cahaya tertumpahkan diwajah bumi
Langit kini berjubah putih...

Air pun lincah berlompatan menari-nari, dari kalbu lautan
Buih-buih bersemburan,
Burung-burung yang berkicauan,
Hembusan bayu mengasyikkan...

Sebuah keindahan kewujudan...tanpa kesakitan, tanpa kesedihan, tanpa duka cita...

Tidak ada perbalahan, pertelingkahan, permusuhan dan pergaduhan...

Tapi manusia?

Melukai kehidupan dengan anak panah tajam dan beracun
Anak patah kesombongan, kedengkian, kebodohan, hasad, cemburu, curiga...
Lalu manusia kehilangan kebahagiaan!

Akankah hari itu datang ketika alam menjadi guru yang mengajar manusia, dan kemanusiaan menjadi buku bacaan.

Mengajarkan CINTA!

Dhiya'
Bumi Peladang
5 Syawwal 1432H

Berpasangan


Kerna dawai-dawai biola saling berasingan, iramanya jadi merdu.
Kerna pelangi berwarna-warni ia jadi indah dipandangan.
Kerna siang tidak pernah memantulkan malam.
Kerna mentari memancar bukan kehendak hujan.
Begitu cinta, saling memahami bukan menghendaki.
Seperti kata Khalil Gibran;
“Berikan hatimu namun jangan saling menguasainya.
Jika tidak, kalian hanya mencintai pantulan diri sendiri,
yang kalian temukan dalam dia.”

Berpasangan dalam menghimpun rahmat Tuhan!

Dhiya'
Tawau
3 Syawwal 1432H