AD-DHIYA'

Tuhan, Jadikanlah Aku Cahaya!


TERSENYUMLAH !

Gambar Hiasan

Abu Darda' r.a sempat melantunkan kata-katanya:

'Sesungguhnya aku akan tertawa(senyum) untuk membahagiakan hatiku'

Aku terpaku sejenak tatkala ungkapan ini berdesis di liang telinga. Memikir sejenak lalu bertanya, ada apa pada senyuman hingga membuatkan kita bahagia? Kata orang-orang, tertawa itu ubat kecemasan dan penglipur kesedihan.

Senyum itu ibarat cahaya, ia menerangi yang gelap, menembusi yang terhijab. Senyumlah dari hati kerana ia akan turun ke hati.

Senyumlah kerna dalam senyuman terdapat kekuatan yang menakjubkan dalam membuat jiwa bergembira dan menenangkan hati. Maka ada benarnya lewat ungkapan Abu Darda' r.a tadi.

Orang yang murah dengan senyuman dalam menjalani kehidupan ini bukan saja orang yang paling mampu membahagiakan diri sendiri, tapi juga orang yang berkemampuan membahagiakan orang lain. Bukankah Rasulullah s.a.w ada menyarankan kepada umat manusia;

'Meskipun sekadar menampakkan wajah ceria saat kau bertemu saudaramu'

Orang Arab suka memuji orang yang murah dengan senyuman dan selalu tampak ceria. Menurut mereka, perangai yang demikian itu merupakan petanda kelapangan dada, kemurahan hati, kemuliaan dan kesejukan hati.

Anda tentu sering mendengar bait-bait lagu ini,

'Senyum seindah suria yang membawa cahaya'
'Senyumlah dari hati duniamu berseri'

Senyumalah dari hati, sesungguhnya senyuman akan hilang nilainya sekiranya tidak terbit dari hati yang tulus. Lihatlah setiap bunga tersenyum, langit tersenyum, lautan, binatang, burung-burung, semuanya tersenyum. Justeru sang manusia yang dicipta dengan wataknya sebagai makhluk yang suka tersenyum jika dalam dirinya tidak membaja penyakit hati yang sering membuat wajah tampak muram dan penuh suram.

Seorang penyair mengatakan:

Senyumlah,
Yang sedih pasti gembira,
Yang marah pasti reda,
Yang benci pasti sayang,
Yang dengki menjadi suka,
Yang bengis pasti lembut,
Yang terluka pastinya terubat,
Semuanya kerana sebuah senyuman.

Tatkala anda bangun di pagi hari, cambahkan sekuntum senyuman yang paling indah di raut wajah, pasti alam mendampingimu, turut sama merasai girang hatimu.

Tatkala anda bersua muka dihadapan ibu dan ayah, hiasi wajah anda dengan senyuman.

Tatkala anda bertemu orang-orang, ceriakanlah wajah anda dengan senyuman.

Senyumlah! Warnai hidupku dan anda dengan senyuman.

p/s: Rasulullah s.a.w tatkala tersenyum akan tampak gerahamnya.

KAULAH SANDARAN HATI

Yakinkah ku berdiri, di hempa tanpa tepi
Bolehkah aku, mendengarMU
Terkubur dalam emosi, dan tak bisa bersembunyi
Aku dan nafasku, merindukanMU

Terpuruk ku di sini, teraniaya sepi
Dan ku tau pasti, Kau menemani
Dalam hidupku, kesendirianku

Teringat ku teringat, pada janjiMU ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri, ku lakukan sepenuh hati
Peduli ku peduli, siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti, jika Kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati

Inikah yang Kau mau, benarkah ini jalanMU
Hanyalah Engkau, yang Ku tuju
Pegang erat tanganku, bimbing langkah kakiku
Aku hilang arah, tanpa hadirMU
Dalam gelapnya, malam hariku

Kerna Kaulah Sandaran hati

SELAMAT HARI GURU

Angin senja menghembus lembut membelai-belai pipiku, seolah-olah mencuba menyejukkan perasaan yang sedia dingin. Angin senja membawa bersama-sama wajah mulus Ummi, pensyarah Kuliah Dakwah, lalu menerjah ke dalam fikiranya.

'Semoga anta menjadi pembela kepada agama' ucap Ustazah Safiah.

Pesan kesumat Ummi masih terngiang-ngiang difikiran. Serentak itu, peristiwa pertemuan petang tadi terus membayangi mengusik-ngusik emosiku. Itulah hari terakhirku di sini. nasihatnya terlalu menyentuh hati. Dia tidak pernah jemu memberi.

Barang-barang sudah siap dikemas. Ada 4 buah kotak, 5 beg, semua sarat dengan baju, buku, dan nota-nota kuliah. Mata liar memerhati keliling, takut kalau-kalau ada yang masih tertinggal. Bola mata terpandang sebuah buku berwarna merah di atas meja belajarku. Diari aku. Aku menghulur tangan mencapainya. Membelek-belek helaian demi helaian, aku terhenti seketika tatkala membaca satu tulisan pada satu helaian diariku.

'Ya Allah, Ya Tuhanku! Jadikanlah aku cahaya, penawar dan rahmat buat umat Muhammad'.

Aku cuba mengingat kembali tulisan ini. Ternyata ia bukan tulisanku.

'Zaid, anta apa khabar? macam mana kertas kerja anta?' sapa Ummi ketika kaki baru saja melangkah memasuki pintu dewan kuliah.

'Alhamdulillah, sedikit lagi akan siap. Mohon maaf ustazah sebab agak lewat menghantar kertas kerja ini untuk disemak'. ujarku

'Tidak mengapa, yang penting anta buat dengan baik dan tumpukan juga pada pelajaran sebab imtihan nihaie tidak lama lagi kan'

'Ya ustazah. Syukran'

'Boleh pinjam nota di tangan anta' aku menghulurkan diari merahku. Apa pula yang hendak dibuat oleh ustazah pada notaku. Belum pernah orang lain membacanya selain aku. Hatiku berdesis.

Sesekali aku memerhatikan tindakannya. Wajah kerisauan ku hias dengan kuntum senyuman.

Ada pelajar lalu lalang keluar masuk dewan. Sesekali memerhatikan kami. Ada juga yang menyapa.

'Boleh ustazah tulis sesuatu di sini?'

'Boleh ustazah. tafaddahl.'

Aku membaca semula tulisan ustzah itu. Ku ulang-ulang tanpa henti penuh takzim. Aku berdoa.

'Ya Allah, Ya Tuhanku! Jadikanlah aku cahaya, penawar dan rahmat buat umat Muhammad'. amenn..ameenn ..amenn

Ku tutup semula diari itu, lalu memasukkanya ke dalam beg galas berwarna biru. Semoga esok masih tetap cerah.

p/s: SELAMAT HARI GURU BUAT UMMI TERCINTA, AL-FADHILAH USTAZAH SAfIAH BINTI ABDUL RAZAK. SEMOGA ALLAH TERUS MENEGUHKANMU DI JALAN DAKWAH DAN MERAHMATI KEHIDUPANMU.
Ustazah Safiah ialah pensyarah Dakwah di Kolej Islam Pahang Sultan Ahmad Shah, merangkap Ketua Jabatan Dakwah dan Pengurusan KIPSAS. Beliau juga merupakan seorang dai'ah dan penceramah bebas yang terkenal di negeri Pahang Darul Makmur.

YA MU'ALLIM

Usai membaca kalam mulia itu, ku kucup penuh takzim. Terasa embun dingin menitis-nitis segenap ruang hati. Sebak sesekali menyengat tatkala terkenang dosa noda dan amalan yang terlalu sedikit. Aku beristighfar lagi.

'Layakkah aku mendamba cintaMu wahai Tuhan' bisik hatiku berkali-kali. Lama aku mencium kalam ilahi itu. Terasa masih belum cukup. Manik-manik jernih tiba-tiba meluncur di balik kelopak mata. Ku peluk erat Kitab Mulia itu. Aku seakan-akan tidak mahu terpisah jauh darinya.

Ayat pada surah Ali-Imran yang ku baca tadi masih tergiang-ngiang ditelinga. Allah sedang berbicara denganku.

'Katakanlah (Wahai Muhammad): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, nescaya Allah akan mencintaimu..'

Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah,

"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," ujar Fatimah, membalikkan badan lalu menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.

Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega,
matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?"

Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. " Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

'Ya Rasulullah!' mulutku berkumat-kamit menyebut nama Agung itu, tangan meraba-raba seolah-olah ingin mengapai sesuatu. Aku terjaga dari tidur. Kitab Agung itu masih di dada. Sisa-sisa tangisan masih mengalir sikit-sikit. Aku bermimpi rupanya.

'Allahumma sholli 'ala Muhammad. Bawa aku bersamamu Ya Rasulullah. aku amat merinduimu', bisikku di hati.

SELAMAT HARI IBU

Gambar hiasan

Untukkmu Ibu yang tercinta
Fatimah Binti Hussin.
Semoga Allah merahmati dan memberkatimu.
Ampunkan kesalahan anakmu.

SELAMAT HARI IBU

AKU DAN SI TER'JUAL ROKOK

'Rokok nak', sambut seorang makcik tatkala kaki melangkah keluar dari muka pintu kereta.

'Tidak', jawabku ringkas sambil menghadiahkan sekuntum senyuman.

Dia senyum membisu. Mungkin sedikit kecewa, tilikku.

Aku berdiri ditepinya, diam membungkam. Mataku tajam melihat keliling. Ternyata ramai lagi yang sepertinya, 'Penjual Rokok'.

'Ibu! ibu!'

Seorang anak kecil berlari, menerpa seorang wanita.

'Ibu saya dah jual rokok tadi. Saya berjalan ke sana', jari telunjuknya diangkat mengarah ke deretan kedai berhampiran.

'Ibu jom kita balik dah petang ni, nanti lewat pula sampai rumah', petah anak kecil itu berkata-kata.

Rasa simpatiku mulai menumbuh. Kasihan pada anak kecil ini. Seusia ini sepatutnya dia menikmati hidup seperti kanak-kanak lain. Lantas bermacamlah persoalan yang berlegar di akal kecilku. Bersekolahkah anak ini? Tidak letihkah dari pagi hingga ke petang bekerja menjual rokok, berjalan ke hulu ke hilir? Tidak takutkah jika ditangkap penguatkuasa? Anak yang sekecil ini sudah diajak, diajar menjual rokok. Ya Tuhan!

'Anak yang sekecilnya sudah terhidang hidup seperti ini' bisikku dalam hati, tidak henti.

Inikan hidup. Telah Allah aturkan segalanya. Inilah wayang anak dunia.

'Makcik boleh saya tanya', aku menghampirinya selangkah.
'Kenapa nak?'

Aku segera mengajukan pertanyaan yang membenak di akalku. Menuntuni setiap patah kata yang terungkap di bibir makcik itu, ada rasa pahit yang mengiringi, ada kesedihan dan kesusahan yang meracuni benaknya. Ya! aku terasa tempiasnya. Ternyata sekuntum senyuman yang mekar indah di raut wajahnya masih belum bisa mengubat simpati yang ku rasai saat ini.

Segala yang ingin ku katakan telah hilang dihembus rasa kasihan. Aku berkira-kira, cuba membayangkan juga merasai.

'Keuntungan hasil jualan yang kecil nilainya. (sekotak rokok keuntungannya RM0.80- pendapatan sebulan RM20-RM30)'

'Rokok yang dijual juga secara 'haram' (UNDANG-UNDANG). Jadi jika tertangkap oleh penguatkuasa hukumannya denda RM300 atau penjara dan semua barang-barang akan dirampas'.


Kembali aku menimbang-nimbang. Ada yang ingin aku katakan. Aku berkira-kira antara A atau B. Aku cuba meletakkan diri ditempat mereka. Bagaimana rasanya?
Mungkinkah mereka terpaksa demi secubit rezeki? tapi tidakkah mereka tahu rokok itu telah difatwakan haramnya (23 Mac 1995, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa, Majlis Kebangsaan Hal Ehwal Islam Malaysia Kali Ke-37 telah memutuskan bahawa tabiat merokok itu adalah haram menurut pandangan Islam). Haram menghisapnya, terjangkit jua menjualnya. Mungkin mereka tidak tahu? ataupun tahu tapi terpaksa.

'Ahh! lantaklah undang-undang. yang penting aku dapat menyara kehidupan', mungkin ini ungkap hati mereka? aku bersangka-sangka.

Aku semakin ligat memikir. Ingin berkata, tidak lagi. Aku berdoa. Semoga Tuhan tunjukkan kita kebenaran.


p/s: Aku BENCI rokok! tapi aku lebih BENCI mereka yang bertanggungjawab menghalalkan penjualan rokok. Aku BENCI mereka. (EMOSI SEORANG TEMAN)