AD-DHIYA'

Tuhan, Jadikanlah Aku Cahaya!


Itulah Nabiku [2]

Dengan pena kucatat,
kalimat demi kalimat,
dari perasaanku yang dalam,
 atas sebuah penghormatan...
-Dhiya'-


Sebagaimana yang kawan telah ketahui. Itulah Nabiku. Sederhana namun tetap istimewa. Lewat peribadinya, sering membuat orang-orang penasaran, jatuh cinta. Tak percaya? Marilah aku ceritakan lagi hal yang kuketahui tentang Nabiku.

Begini. Kenalkah kalian kepada Tsumamah bin Utsal? Beliau salah seorang pemimpin Bani Hanifah, Penguasa Yamamah yang terkenal dengan kebenciannya kepada Nabi. Seketika menerima surat seruan dakwah daripada Nabi, ia menanggapinya dengan penuh kesombongan dan menghinakan. Tsumamah kelihatan kurang senang. Sering sahaja ia mengintai-intai peluang untuk membunuh Nabi dan para Sahabat.

Tuhan telah mentakdirkan pertemuan langsung antara Tsumamah dengan Nabi. Tentera berkuda Islam yang ditugaskan berkawal disempadan telah berjaya menewaskan dan menawan pasukan Tsumamah. Maka dibawalah mereka ke masjid, dalam keadaan baik tanpa sedikitpun dikasari, demi menghadap Nabi.

"Tahukah kalian, siapakah para tawanan ini?" Tanya Nabi. Para sahabat terdiam tak ketahuan.

"Dia adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi, Pembesar Yamamah. Layanilah dia dengan baik…!". Titah Nabi.

Mendengarkan itu, para sahabat terkedu. Bukankah Nabi pernah menghalalkan darah Tsumamah kerna dia adalah musuh yang cuba membunuh, tapi mengapa tiba-tiba disuruh agar dilayan dengan baik. Mereka terdiam, tak mampu berbuat apa. Hanya taat dan patuh dengan titah Nabi.

Tsumamah dan tenteranya dilayani dengan baik oleh Nabi dan tentera Islam. Tanpa dikasari, tanpa didera, tidak dimaki atau dicaci cerca. Tidak ada. Itulah akhlak Nabiku. Sungguh mulia sifatnya. Bagindalah adalah rahmat buat seluruh jagatraya. Tak tertandingkan.

Pulang dari Masjid, Nabi menemui isterinya, meminta mereka menyediakan makanan untuk dihidangkan kepada Tsumamah dan orang-orangnya. Para sahabat yang lainnya diminta untuk memerah susu sebagai minuman. Setelah menikmati jamuan, Nabi menemui Tsumamah untuk menanyakan keadaannya.

“Bagaimana keadaanmu wahai Tsumamah?”

“Aku baik-baik saja, ya Muhammad. Sekiranya kau membunuhku, kau telah membunuh darah yang berharga. Sekiranya kau melepaskanku, kau melepaskan orang yang pandai berterima kasih. Sekiranya engkau ingin harta, mintalah, kami akan memberikan sebanyak apa yang engkau minta."

Nabi tersenyum mendengar jawaban balas seorang Tsumamah, lantas berlalu pergi, tanpa berkata apa-apa.

Keesokannya Nabi bertemu lagi untuk melihat keadaannya dan bertanya khabar. Hal yang sama dijawab balas oleh Tsumamah. Begitulah hari berikutnya Tsumamah tetap teguh dengan apa yang dikatakannya tempoh hari. Ungkapan musuh itu tidak sedikitpun membekas di hati Nabi, apatah lagi mencetuskan kemarahan hingga berlaku kasar. Tidak. Nabiku tidak pernah berkasar dengan para tawanannya. Siapapun mereka.

Maka hari itu genap hari ketiga Tsumamah dalam tawanan, dengan senang hati Nabi membebaskannya.

“Bebaskanlah Tsumamah!”

Setelah itu, Tsumamah pun pergi. Begitulah cara Nabi menanggapi musuhnya. Tidak terbayangkan dibenak kita, apatah lagi dipihak musuh, bahwa ada manusia yang sebegitu baik. Melayani musuh seperti melayan tetamu. Tidak pernah ditemukan dalam sejarah dunia, ada manusia sebegitu. Nabi adalah manusia nombor satu dalam menjaga hak asasi manusia. Tidak memaksa. Tidak menekan, apatah lagi mengasari orang lain, tak kira kawan atau lawan. Manusia adalah sama-sama makhluk Tuhan, mereka punya hak. Dan hak itulah yang mesti dihormati. Maka Nabiku adalah juara dunia yang paling menghormati hak kemanusiaan. Amboi!

Demikian Tsumamah, orang yang bercita-cita besar membunuh Nabi, telah dilepaskan bebas. Tanpa disakiti. Adakah hanya begitu cara Islam. Musuh dibiarkan. Tanpa hukuman. Tidakkah nanti dia akan membalas dendam dan mencari peluang membunuh Nabi. Akankah Tsumamah datang kembali membuat perhitungan dengan Nabi?  

Nah, mari aku lanjutkan lagi ceritanya. Perhatikan baik-baik.

Tsumamah tiba di suatu tempat yang dipenuhi pohon-pohon kurma, terdapat padanya mata air, di situ ia beristirehat dan membersihkan diri. Sambil bermenung. Masih jelas diingatannya perlakuan dan layanan yang diberikan oleh Nabi beserta para sahabat selama tiga hari dalam tahanan. Sedikitpun tubuhnya tak disentuh, tak dikasari. Bahkan dilayani sebegitu baik. Ia tertanya kenapa Nabi tidak membunuhnya atau menyuruh para sahabatnya melakukan itu, sedangkan dahulu Nabi pernah menghalalkan darahnya. Tidak hanya itu, ia malah diberikan makanan dan minuman dengan sebaiknya. Ah, sungguh hal itu membuatnya termenggung memikirkan kejadiaan yang dialaminya. Ia bangkit. Segera ia kembali menghadap Nabi. Apakah Tsumamah benar-benar ingin meneruskan hasratnya membunuh Nabi?

Ia kembali ke masjid, di sana para sahabat berkumpul. Dengan disaksikan sahabat-sahabat Nabi, Tsumamah mengisytiharkan dirinya sebagai seorang muslim. Tuhan telah menjadi saksi, hatinya tersentuh dengan Islam. Dengan sendirinya, hidayah pun menyapa. Di hadapan Nabi, Tsumamah bersaksi.

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Wahai Muhammad, demi Allah, selama ini tidak ada wajah yang paling aku benci kecuali wajahmu. Tetapi hari ini, wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai daripada wajah-wajah yang lain. Demi Allah, dahulu tidak ada agama yang paling aku benci kecuali agamamu, tetapi hari ini, agamamu menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah, dahulu tidak ada tempat yang paling aku benci kecuali tempatmu, tetapi hari ini, tempatmu adalah menjadi tempat yang paling aku cintai."

Nabi gembira. Islamnya Tsumamah adalah anugerah. Nabi berkenan membebaskan seluruh tawanan tentera Tsumamah. Betapa lembutnya hati Nabi. Maka para tawanan pun dilepaskan sehingga setiap daripada mereka mengikuti pemimpin mereka Tsumamah, bersyahadah, memeluk Islam. Tanpa paksaan, tanpa kekasaran, tanpa pertumpahan darah.

Lihatlah kawan, itulah Nabiku. Tak sama seperti yang mereka katakan. Kasar, bengis, suka membunuh, merompak, memeras ugut. Sungguh jauh sangkaan yang mengatakan Nabiku seorang yang gilakan kuasa, harta dan pangkat. Perhatikanlah pembesar Yamamah itu. Seorang yang berkuasa dan kaya, yang kuat dan berpengaruh. Perhatikanlah baik-baik apa yang ingin dilakukannya kepada Nabi. Perhatikan pula apa yang telah dilakukan oleh Nabiku kepada pembesar itu beserta tawanannya. Tidakkah kalian melihat!

Seandainya Tsumamah, berani menyatakan keIslamannya, kenapa tidak kalian?

Jika Nabi dan para sahabat, bisa menyantuni musuh-musuh dengan perilaku dan akhlak islami, sehingga mereka melihat keindahan pada agama ini, kenapa tidak kita yang mengaku mencintai Nabi, berakhlak dan bertindak persis Nabi dan para sahabatnya.

Ya Rasulullah, saksikanlah!


Dhiya’
Tawau
04 Dzul Qa’ida 1433H

_______

*Kisah yang masyhur ini diriwayatkan oleh para Imam hadis dan sirah termasuk Imam Bukhari dan Imam Muslim.


Itulah Nabiku [1]

 "Pohon pun menangis ditinggalkanmu,
Alangkah aku..."
-Dhiya'-
 
Semua hal yang kuketahui tentang Nabiku adalah istimewa. Sangat istimewa. Ada cerita yang masih kuingat tentangnnya. Meski agak kabur, hal itu kuingat. Yaitu sewaktu Nabiku diheret dan diusir keluar dari kota Thaif dengan kasar.

“Keluarlah engkau dari negeri kami!”

Kuingat cerita itu, orang-orang berhimpun ikut serta menghalaunya sambil mencela dengan kata-kata kesat dan kuingat anak-anak muda nakal membaling batu ke arah tubuhnya. Sehingga luka tubuh dan kepalanya. Kakinya dilimpahi darah memenuhi terompahnya.

Tiba-tiba Zaid yang ikut serta bersama, menjerit-jerit. Melihatkan apa yang terjadi, sungguh tidak tega melihat sahaja Nabi yang dicintai dihina, diperlakukan sedemikian rupa. Tak pantas sungguh. Ia menjerit lagi, langsung meluruh ke arahnya, lalu mendakap tubuh baginda, berusaha menahan dan melindunginya dari dijamah lontaran batu-batu. Tak dihiraukan keadaan diri, asalkan Nabi tidak tersakitkan. Mereka terus berlalu meninggalkan kawasan itu sehinggalah berhenti disuatu tempat. Dalam keadaan dibasahi darah dan rasa sedih yang mencengkam, Nabi mengadu kepada Allah;

“Wahai Tuhanku, Kepada-Mu sahajalah tempatku mengadu kelemahan tenagaku, kurang helahku dan bertapa kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah. Dan Engkaulah Tuhanku, kepada siapakah akan Kau serahkan diriku? Adakah kepada mereka yang jauh, yang membenciku atau kepada musuh yang Kau berikan kuasa ke atasku? Seandainya Engkau tidak murka kepadaku, maka tidak akan kupedulikan, tetapi kemaafan dan kurniaan-Mu lebih luas untukku...”

Allah mengetahui apa yang terjadi ke atas Nabiku. Malaikat Jibril datang atas perintah Tuhan, membawa khabar dan utusan bahwa Malaikat penjaga gunung siap diberi tugasan. Seandai diizinkan, mereka siap menghempapkan bukit ke atas orang-orang yang telah berbuat kejahatan kepadanya.

Kuingat lagi, bahkan sehingga kini takkan pernah kulupa kata-kata Nabi;

“Bahkan, apa yang aku mahu dan harapkan biar Tuhan melahirkan dari sulbi mereka suatu golongan yang menyembah Allah serta tidak mensyirikkan-Nya.”

Nah kawan, itulah Nabiku. Istimewa bukan? Tak kasar, sabar dan sangat mengasihi. Tak membalas kejahatan dengan kejahatan malah sudi memaafkan. Selalu begitu. Selalu menyayangi dan memaafkan.


Dhiya’
Tawau
03 Dzul Qa’ida 1433H

Surat Kecil Untuk Tuhan



“Kawan, hidup adalah anugerah yang indah. Dengan kebaikan Tuhan, kita mampu menjalani hari-hari dengan penuh sejahtera. Sungguh itu suatu nikmat. Saat kita mampu tertawa dan tersenyum. Tentulah itu sebuah kebahagian. Namun tak kurang ramai yang lupa, bahwa sebesar apapun nikmat kehidupan ini, kelak disuatu waktu, kita harus segera pulang. Pulang ke pangkuan Tuhan.”

Cukup itu ungkapan yang mampu ku tuntaskan usai menelaah novel Surat Kecil Untuk Tuhan karya cerpenis Indonesia Agnes Navonar  pada menuangkan kisah nyata seorang gadis bernama Gitta Sassa Wanda Cantika yang divonis menderita Kanser Rabdomiosarkoma.

Meskipun agak terlewat mengenali karya Surat Kecil Untuk Tuhan, aku merasa masih belum terlambat menekuri pengajaran berharga dari sebuah sastera bernuansa realitis ini. Menyelami sisi kehidupan seorang gadis kecil penghidap kanser seperti membaca kehidupan sendiri.

“Seorang pesakit, membaca riwayat hidup seorang pesakit lain...” kataku sendiri.

Dan hasilnya dapat ku pelajari bagaimana ‘kebesaran jiwa’ seorang Gitta menerima takdir Tuhan. Ketabahan, kesabaran, kegigihan, semangat yang tak pernah luntur, kekuatan moral seorang gadis kecil demi perjuangan untuk terus hidup.

Mujur aku tidak mengalirkan air mata. Nah, mahukah kawan ku lanjutkan cerita tentang novel ini? Begini saja, bagi kawan yang minat membaca karya sastera ini, silalah download di laman internet. Baca dan hayatilah sendiri ya!

Dan untuk akhirnya, marilah ku titipkan Surat Kecil Untuk Tuhan dari Gitta Sassa Wanda Cantika.

Surat Kecil Untuk Tuhan

Tuhan…
Andai aku bisa kembali
Aku tidak ingin ada tangisan di dunia ini.

Tuhan…
Andai aku bisa kembali
Aku berharap tidak ada lagi hal yang sama terjadi padaku,
terjadi pada orang lain.

Tuhan…
Bolehkah aku menulis surat kecil untuk-Mu

Tuhan…
Bolehkah aku memohon satu hal kecil untuk-Mu

Tuhan…
Biarkanlah aku dapat melihat dengan mataku
Untuk memandang langit dan bulan setiap harinya..

Tuhan…
Izinkanlah rambutku kembali tumbuh, agar aku bisa menjadi wanita seutuhnya.

Tuhan…
Bolehkah aku tersenyum lebih lama lagi
Agar aku bisa memberikan kebahagiaan
kepada ayah dan sahabat-sahabatku

Tuhan…
Berikanlah aku kekuatan untuk menjadi dewasa
Agar aku bisa memberikan arti hidup
kepada siapapun yang mengenalku..

Tuhan ..
Surat kecil-ku ini
adalah surat terakhir dalam hidupku
Andai aku bisa kembali…
Ke dunia yang Kau berikan padaku..



Dhiya’
Tawau
27 Syawwal 1433H

Merdeka : Alangkah Lucunya Negeri Ini



Tak terasa, sudah sebulan aku di kampung. Tanpa pekerjaan. Sebetulnya saat ini aku sedang memberikan hadiah buat diriku sendiri dengan bersantai-santai di kampung. Relax begitu. Nah, bukankah selama ini aku hanya membiarkan diriku berusaha keras, sejak kecil, tanpa rehat, semata-mata meraih sekeping kertas yang namanya Ijazah. Demi masa depan itu. Maka saban hari, seawal pagi setelah menata ke langit menanti terbitnya mentari pagi, aku melangsungi agenda istirehat sambil menekuni buku-buku dalam simpanan.


Ku nikmati saat berharga itu tanpa omelan si Ibu. Padahal waktu kecil Ibu sering sahaja menjelma sebagai seorang pengulas bola sepak, meleteri aku, menyindir itu ini. Kini, Ibu jadi lebih pengertian. Dan kini aku insaf sungguh, bahwa leteran Ibu itulah yang telah menjadikan aku seperti sekarang. Sementara si Ayah, tetap sahaja tenang, seperti dahulu. Pun begitu, pada riak wajahnya ada dalil yang menunjukkan beliau ingin benar aku segera bekerja. 

Tak perlu ku jelaskan panjang lebar. Kawan tentu mengerti zaman ini, betapa sukarnya mendapatkan pekerjaan. Belum dihitung jumlahnya orang yang mengganggur. Di negeriku sahaja kadar pengangguran mencecah lebih 5 peratus, menjadikan negeri ini juara nombor wahid di Malaysia. Bukan itu sahaja, negeriku sekali lagi diangkat johan tertinggi dari segi tahap kemiskinannya dengan jumlah mencecah 16 peratus, yakni lebih tiga kali ganda purata nasional. Ampun!

Ku katakan ini bukan demi menyedapkan hatiku atau mahu bersandar pada alasan membela diri yang jelas tak punya kerja. Ternafi sama sekali niatku hendak memburuk-burukkan negeri sendiri. Marilah ku lanjutkan lagi kenapa aku katakan begitu. Mahukah kau tahu kawan?

Sudah ku duga, kau tentu ingin tahu kenapa aku berbicara demikian rupa. Ah, kau selalu saja ingin tahu. Baiklah mari aku ceritakan padamu. Tapi, jangan kau tanya dari mana ku perolehi maklumat ini, janji.

Aku sungguh berbangga dengan negeriku. Negeri yang dilimpahi Tuhan dengan begitu banyak kelebihan. Punya minyak petroleum, pengeluar minyak sawit terbesar di Malaysia, keluasan tanah dan perairannya, laluan perhubungan yang strategik, keunikan dan keindahan semulajadi yang menggoda jutaan pelacong asing, kayu balak, khazanah maritim yang menggiurkan. Sejarah berani berbicara bahwa ‘dahulu’, negeri ini tercatat antara kedua terkaya di Malaysia. Sekali lagi ku tegaskan, negeri kedua teraya. Kekayaan sumber semula jadinya, telah menyumbangkan jumlah Keluaran Dalam Negara Kasar (KDNK) per kapita kedua tertinggi berbanding negeri lain.

Hari ini. Ke manakah perginya hasil negeri ini? Mengapa 40 peratus daripada rakyat negeri ini miskin? Sebuah negeri yang kaya dengan pelbagai sumber untuk menjana ekonomi dan menaik taraf hidup kehidupan penduduknya? Rakyat ‘merempat di negeri sendiri’. Adalah sangat melucukan sebuah negeri yang ‘kaya’ tetapi rakyatnya ‘miskin’. Sangat tidak masuk akal. Kekayaan negeri tidak mampu merubah hehidupan rakyat! Mengharap bahagia datang daripada pemerintah, seribu tahun takkan mungkin. Benar kata Tun Mustapha,

"Ini negeri kaya, yang miskin rakyatnya dan yang kaya juga pemimpinnya.”

Nanti, setelah menjelang tibanya musim pilihan raya, skrip yang sama akan diulang-ulang oleh pemerintah,

‘...hujung tahun ini semua rakyat sudah keluar daripada kemiskinan..!’

Alangkah lucunya negeri ini!

SEBANGSA, SENEGARA, SEJIWA
Salam Kemerdekaan Kali Ke-55


Dhiya’
310812

Telah Merdeka



Hari-hari terus bergulir. Usai paper terakhir, aku melonjak syukur. Tak terperi rasanya gembira. Setelah bertungkus lumus mengharungi hari-hari. Tiga tahun tidak jauh beza dengan tiga hari.

Rasanya baru kemarin aku tiba di terminal penerbangan tanpa seorang teman, menyesuaikan perkataan bahasa Melayu dengan makcik penjual nasi minyak yang berbicara loghat Terengganu, tertegun sendiri antara percaya dan tidak bahwa aku berada nun jauh di sini. Dan sedar-sedar kini, aku telah menyelesaikan pelajaranku. Aku tertunduk syukur. Telah kulalui begitu banyak kejadian yang menduga. Peristiwa yang tidak pernah terbayangkan.

Di hadapan terminal penerbangan aku tertegun sendiri membayangkan apa yang pernah ku lalui. Kembali aku mengenang titik mula perjalanan hidupku. Ketika ayah merasa berat untuk berterus-terang dahulu. Aku mafhum benar kesan raut wajah ayah yang tak dapat disembunyikan itu, bahwa dia tidak punya wang untuk menghantarku melanjutkan pelajaran. Jika tidak kerna Tuhan mengirimkan manusia-manusia penyayang seumpama Kamai, Farah dan Asmar, barangkali ketika ini aku sedang melihat diriku terperuk di dalam pejabat yang dipenuhi penghawa dingin, itu seandainya nasibku baik. Jika tidak, aku mungkin terlantar di kilang usang nan berdebu atau sengaja menjemurkan diri di bawah terik mentari demi menghitung kayu-kayu balak sebesar menara Kuala Lumpur.

Tidak hanya itu. Aku pernah dicuba dengan ujian kesakitan. Sehingga aku terlantar berbulan-bulan di rumah sakit dan harus dihantar pulang ke kampung halaman. Itulah ujian paling besar yang melanda hidupku, sampai-sampai hampir membunuh jasadku sekaligus semua impian murniku. Tubuhku yang lemah tak mampu berbuat apa. Serupa mayat hidup bernyawa. Waktu aku merasa duniaku pucat hitam, rasa putus asa untuk hidup, bayang-bayangan kematian, ketika aku sudah tidak merasa apa-apa dengan hidup. Aku mati sebelum mati.

Namun Tuhan sayangkan aku. Tuhan telah memegang mimpi-mimpiku. Kini di tepi lautan nan terbentang luas, bersama burung-burung yang berterbangan bebas, menjadi saksi, aku telah merdeka!


Dhiya’
Kuala Terengganu
03 Sha’ban 1433H

Malam Sentimental



Malam kelam, langit pucat. Di atas meja, aku menjajar carik-carik kertas bercoretan tangan. Ku perhatikan. Berlama-lama aku menekurinya. Hingga aku tak tahu harus mengawalinya dengan membaca tulisan yang mana.  Namun, aku tahu, aku tahu persis, bahwa ada sesuatu pada coretan-coretan sembap itu. Ah, aku penasaran.

Seandainya jika tulisan-tulisan itu dideklamasikan, pasti bertambah seru. Mungkin akan menjadi semacam ratib buat membuka selera mengisi malam-malam nan sepi. Maka bagiku, kertas-kertas kumal ini begitu terhormat. Nanti setelah aku usai membacanya, akan aku ceritakan kepada kawan seperti apa perasaanku.

Kertas-kerta carik itu berisi tulisan dari teman-teman sekuliahku. Ceritanya begini. Kami seramai tiga pulu lapan orang antara manusia pilihan Allah yang sedang mengikuti pengajian akhir Sarjana Muda Usuluddin Dengan Kaunseling, sejenis jurusan yang belum pernah wujud sebelum ini di mana-mana universiti, hatta di Harvard University sekalipun. Hebat bukan! Maaf, aku sendiri tidak pasti siapa orangnya yang begitu berani menjodohkan dua bidang ini. Hmmm!

Setelah melalui lima semester yang begitu polemik, kami kini berada diakhir fasa pengajian. Antara subjek yang wajib kami ikuti pada semester penghabisan ini dinamai Kaunseling Kelompok. Bunda Hafiah adalah tenaga pendidiknya.

Sekali lagi maaf, aku tidak berkenan menceritakan plot-plot disepanjang kelompok kami berlangsung beberapa bulan. Apa yang aku rasai? Apa yang aku pelajari? Apa yang aku perolehi? Kebaikan-kebaikannya? Aku hanya berani syorkan agar kawan sudi membaca buku I.D Yalom, judulnya “The Theory and Practice of Group Psychotherapy” meski aku belum pernah menelaahnya.

Sehingga berlalu beberapa sesi kelompok lalu tiba pada sesi penutup, Bunda Hafiah meminta kami menulis kata-kata berupa doa dan nasihat khas buat teman-teman sekuliah.

“Pada keping kertas, tulislah doa untuk kawan-kawan dan masukkan dalam sampul...” kurang lebih begitu kata Bunda Hafiah jika dibahasa bakukan.

Di atas sekeping kertas putih yang dikerat hingga hanya selebar kertas resit mesin bank atm, setiap dari kami, menukilkan kata-kata azimat. Dengan tulus ikhlas dan penuh rasa cinta lalu memasukkan ke dalam sampul yang dipunyai oleh setiap seorang dari kami. Dan dari situlah asal muasal yang membawa kepada kejadian malam ini.

Malam pun berlalu hanya untuk melahu carik-carik kertas dan bersentimen. Mataku tak mahu beralih dari lembaran-lembaran kopak itu kerna ternyata ayat-ayat yang dicoret mengandung daya tarik yang maha sentimental.

Maka sepanjang malam, aku bergelimang dengan hal-hal mengharukan, menyentuhkan dan rasa indah kerna kata-kata yang mengujakan. Aku senang dan bahagia. Terima kasih kawan. Semoga Tuhan selalu merahmati kalian.

Zaid,
Semoga cepat sembuh dan diberikan kesihatan yang baik.
Semoga segera bertemu jodoh yang baik hati.

Doanya ya!


Dhiya’
Gong Badak
17 Rejab 1433H