Malam meski kelam, ada bintang-bintang yang bertaburan menghiasai dada langit di sisi bulan yang terang benderang. Suasana sepi, tenang, jernih, disebulungi tompokan-tompokan embun yang tipis yang merangsangkan perasaan sedih, bimbang dan rasa haru yang halus. Pada celah-celah tingkap ada tiupan bayu yang menghembus perlahan bersama panggilan-panggilan cinta,
“Adakah di sana orang yang meminta sesuatu? Adakah di sana orang yang meminta ampun? Adakah di sana orang yang bertaubat?”.
Aku bangkit membersihkan diri. Dengan rasa penuh kehinaan perlahan-lahan aku ratakan air ke setiap anggota wuduk. Seperti membasuh kotoran dosa-dosa. Sungguh-sungguh aku basuhi.
Dengan penuh takzim dan rendah hati aku mengangkat takbir, kedua telapak tangan ku benar-benar menghadap kiblat. Aku memasang niat sembari memandang tepat ke tempat sujud.
“Allahu ak...”
Ah, tiba-tiba sekujur tubuh berbaring manja di atas sejadah solatku. Yang hanya dibaluti kain tipis dan telus, dia tersenyum manja.
Astaghfirullah!
Kenapa Syafiqah tiba-tiba...? Mata berkelip seribu. Istighfar merewak pada bibir. Ya Allah, Ya Allah!
Syafiqah kelihatan tersenyum. Jari-jari kecilnya nakal bermain, perlahan-lahan menyelak kain pada tubuhnya. Dia mengoda-goda aku.
“Sayang, marilah. I miss U darling...” Dia menggilai tawa. Astaghfirullah! Aku pejamkan mata.
“Celaka! Berambus...” tegas aku dalam hati. Dia malah galak ketawa malah mengacah-acah aku untuk menidurinya. Aku menangis. Hati aku meraung. Tuhan! Tuhan!
Syafiqah. Sosok wanita muda cantik bertubuh mugil. Dia manusia keji yang telah membawa aku ke lembah nista. Dari satu hotel ke satu hotel yang lain dan dari sebuah bilik ke sebuah bilik kami kunjungi demi memuaskan nafsu serakah.
Aku tidak jadi bersolat. Setiap kali aku bertakbir, bayang Syafiqah datang menganggu-ganggu. Menjadikan aku tenggelam dalam kesedihan. Aku pejamkan mata. Aku menangis lagi. Oh Tuhan, hamba yang hina ini datang kepadaMu. Hamba ingin bertaubat, ya Allah. Air mata keinsafan jatuh berguguran melunturkan bayang-bayang Syafiqah, lenyap.
Aku duduk berpangku di atas sejadah. Dalam tangis yang masih tersisa di pipi, aku menggapai mushaf al-Quran. Aku selak lembaran demi lembaran kemudian membacanya dengan hati khusyuk.
Sewaktu aku sungguh-sungguh menekuni ayat pada surah At-Taubah itu, terbayang aksi-aksi asmara aku bersama Syafiqah. Jantung aku berdegup kencang.
Oh Tuhan, apakah ini? Mohon hentikan. Aku pejamkan mata. Malu dengan perilaku sendiri. Aku menangis lagi. Aku merasa kotor.. Tubuh terasa jijik. Tubuh yang pernah dirangkul dan dicumbu wanita tidak halal.
Aku menangis penyesalan.
Ayat-ayat suci pada mushaf seperti mengkeji-keji, menyumpah serapah aku.
“Maka Allah dan RasulNya serta orang-orang yang beriman akan melihat apa yang kamu kerjakan; dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui perkara-perkara yang Ghaib dan yang Nyata, kemudian ia menerangkan kepada kamu apa yang kamu telah kerjakan".
Jangan sentuh aku, jiwa kau kotor dan keji...Ah, kitab suci itu membentakku. Aku jadi menggigil ketakutan bersama derai air mata. Aku menangis dan terus menangis. Jika dahulu, aku sering galak ketawa. Puas bersama wanita yang tidak halal. Aku bangga, nekad dan berani melakukan nista. Tapi saat ini, di tengah malam yang pekat ini, hanya air mata ketakutan dan keinsafan bersama. Aku menyesal sesungguh-sungguhnya.
Air mata merambu-rambu. Ingatan pada Syafiqah sesekali hadir menganggu membawa ingatan pada tempat-tempat yang pernah ternoda dengan maksiatnya. Berkali-kali saya mencerca diri, aku merasa jijik dengan diri sendiri. Seluruh hati, ruh dan jiwa terasa kotor kerna dosa maksiat dahulu.
Aku termenung lama. Terkesima dengan apa yang aku alami. Hendak bersolat tidak bisa. Hendak tilawah juga tidak bisa, malah dicerca hina. Dikeji, keji, keji. Allah benar-benar tidak menerimaku, fikir ku. Hina sangatkah aku? Apakah aku sangat keji? Oh Tuhan, Engkau mengetahui bahawa aku hamba yang berdosa, akan kah hamba terus tersesat seperti ini. Aku benar-benar ingin menjadi hambaMu. Ya Allah, hamba bertaubat, hamba bertaubat kepadaMu...
Aku istighfar lagi. Terus-terusan. Ada titis air yang keluar dari mata, gugur berderai, pipi yang dahulunya pernah menjadi cumbuan mesra Syafiqah, bah dengan air mata.
“astaghfirullahal ‘azhim”
Tubuh terasa semakin lemah dan longlai. Nubari jadi keruh, terbenam dalam kegelapan, kesulitan dan kesempitan. Terus meraung menahan sakitnya benturan-benturan penyesalan yang bagaikan hujan lebat terus mendera tubuh. Aku berusaha membujuk diri, namun bisikan-bisikan nista membuatku hilang daya, panca indera gelap tanpa rasa, mata terbuka dan seluruh pemandangan berubah menjadi selubung pekat yang mengerikan, telingaku
mendengar suara-suara namun mendadak bagaikan dihambat dengan ketulian yang kelam, alam pemikiran lumpuh, kedua telapak tangan dan jari jari bergetar, hatiku bagai hangus terbakar oleh gemuruh lahar kerisauan.
Apa yang bisa aku perbuat? Aku tidak tahu, jalan keluar tanpa tertutup rapat. Rintihanku, raunganku, tidak didengar. Nuansa jadi kelam. Seakan aku hidup sendiri di alam ini. Akankah aku berputus asa?
Aku rebah terhenyak, mencampak wajah dikaki bumi. Aku menangis, menangis dan terus menangis. Lalu, ada tiupan bayu yang lembut menyelinap masuk pada celah-celah tingkap. Tiupan bayu rahmat, bisikan kasih, perdampingan yang mesra, timangan-timangan kepada jiwa yang lesu, fikiran yang gelabah dan hati yang menderita. Tiupan bayu yang membawa kerehatan, kerelaan dan harapan di samping mencurahkan rasa ketenteraman dan keyakinan. Tiba-tiba terdengarlah suara lirih dari Firman Tuhanku,
“Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kau berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ah, aku tersentak seketika. Ada yang sedang memanggil-manggilku. “Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri..”
Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah!
“..janganlah kau berputus asa dari rahmat Allah...” muncul harapan di hatiku. Jangan putus asa! Tiba-tiba batiku merintih lagi. Ah, tidak mungkin. Dosaku sangat besar sekali. Aku tertunduk malu..malu..sangat malu..tiba-tiba aku jadi teringat akhir ayat itu, “Sesungguhnya, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ada rasa tenang yang menusuk-nusuk segenap ruh dan jiwa. Menghubungkan perasaan-perasaan jiwa serta menyarankan kepada hati suatu bentuk hidup yang sedar dan penuh pengharapan.
Maha Suci Engkau Wahai Tuhan, Menyingkap kegelapan malam dan membuatnya terang benderang, beribu hati gelap dan pekat telah pula kau singkapkan kesedihan mereka dengan pengabulan doa hingga hati gelap dan kelam itu berubah menjadi terang benderang dengan kegembiraan dan pengharapan, bahwa Engkau Maha Siap menghulurkan jari-jari takdir kelembutan yang memutus rantai-rantai dosa yang membelenggu dan mencekik diri. Di Pintu KemegahanMu hamba berdoa, bermunajat dan merintih kepadaMu.
“Wahai Allah!
Demi orang orang yang bermunajat meminta keampunanMu,
Demi orang orang yang berhajat memohon keredhaanMu,
Demi berjuta telapak tangan yang telah terangkat bermunajat pada Mu,
Demi doa para Nabi dan RasuluMu yang mustajab,
Demi rintihan para kekasihMu yang dahagakan pengampunan,
Ampunkan aku dari segala dosa-dosa dan kenistaan. Bebaskan aku dari samudera syahwat yang membuatku tenggelam dengan nafsu, yang membuatku ditelan oleh dosa dan merangkak di perut dosa yang penuh dengan kebusukan bangkai kehinaan dalam keadaan lumpuh dari harapan, akulah hamba yang merangkak di perut dosa...ditenggelam ke dasar samudera syahwat.
Di Pintu KemegahanMu, ku memanggil-manggil Nama AgungMu..satu-satunya gerbang harapan bagi para pendosa..
Ampunkanlah aku dari segala dosa-dosa..
Jiwa terus tenggelam bersama rintihan harapan di malam kelam 17 Ramadhan, terasa suatu sentuhan kasih mesra, suatu hembusan rasa sayang, suatu belaian tangan dan belas kasihan yang menghilingkan sakit derita. Semuanya jelas ternyata dalam ungkapan indah seorang Rasul, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam;
“...dan (bulan Ramadhan) bulan yang permulaannya Rahmat, pertengahannya Maghfirah (pengampunan) dan pengakhirannya pembebasan dari api neraka...”
Aku bersujud sungguh-sungguh. Dalam pekat malam akhir Ramadhan yang terus berlalu, bersama sebuah pengharapan, sebuah pengampunan untuk seorang penanggung dosa.
al-faaqir!
Dhiya’
Bumi Peladang
17 Ramadhan 1432H