Fikiran saya masih tertumpu seputar imtihan lusa nanti. Kenapalah diwaktu-waktu seperti ini ianya hadir. Sungguh menganggu. Saya bangkit ke dapur mendapatkan secawan air. Malam sudah larut, jam hampir menuju 2 .00pagi. Saya buka tingkap bilik, angin pagi menghembus lembut ke celah-celah kulit, dingin terasa
Saya pandang muqarrar Tafsir di atas meja. Saya gapai dan saya baca. Tulisan arabnya sedikit kabur dan ada perkataan yang hilang membuatkan saya sukar memahami secara sempurna apa yang ingin disampaikan oleh Syekh As-Sobuni dalam tafsir Surah Yaasin. Saya tidak betah untuk meneruskan bacaan. Saya bangkit dan merebahkan tubuh di atas katil.
Saya cuba melelapkan kedua belah mata tapi tidak bisa. Rasa mengantuk yang tadinya mengajak untuk tidur kian lenyap dikit-dikit. Kepala terasa berat. Seperti ditusuk puluhan jarum dan pisau. Tidak henti-henti saya berdoa dan menyebut-nyebut nama Allah. Saya merayu, menangis dan merintih. “Ya Allah, hilangkanlah kesakitan ini.”
“Di dalam Surah Yaasin ada tujuh perkataan ‘mubin’ yang terletak dihujung ayat.” Kata Ayah Cik. Dia mentor saya semasa program Kem Bina Tata Negara.
“Berhenti diperkataan ‘mubin’ itu, kemudian sapu dada dan bacalah doa, “Ya Allah hilangkanlah penyakit yang ada dalam diriku atau kembalikannya kepada pembuatnya.” Terang beliau.
Saya tutup muqarrar Tafsir. Saya ambil al-Quran, saya selak lebarannya perlahan-lahan. Muka surat 440, surah yang ke 36. Saya terus membacanya seperti yang diajarkan Ayah Cik. Sewaktu saya melantunkan kalimah-kalimah suci itu badan saya terasa panas. Sepertinya ada bara api yang sedang membaham tubuh saya. Embun subuh yang tadinya terasa dingin menyerap tubuh hilang tiba-tiba. Saya kuatkan diri. Saya teruskan bacaan hingga selesai pada ayat terakhir. Aduh saya merasa kesakitan yang teramat sangat. Hampir saya tidak kuat menempuhnya. Mulut saya tidak henti berkumat-kamit membaca doa dan zikir-zikir kepada Allah SWT. Memohon perlindungan dan kekuatan daripadaNya.
“Ya Allah, cubaan apakah ini?” keluh saya.
“Ampunkan dosa saya. Pelihara saya dari gangguan ini.” air mata saya terus berderai merayu dan menyeru nama Allah SWT. Sungguh sungguh. Dalam hati hanya ada Dia. Saya segera bingkas dari tempat duduk menuju ke bilik air untuk berwuduk. Saya mahu bersolat. Terasa berat ditambah dengan bisikan-bisikan curang syaitan yang mengajak untuk melalaikan Tuhan. Saya lawan. Dalam solat saya tekun menitip bicara kalamNya. Mengharapkan belas dan rahmatNya. Saya menangis dan terus menangis. Usai bersolat saya berdoa lagi. munajat-munajat saya terasa sayu menderu hati. Kain jubah berwarna biru yang saya pakai sudah basah dengan titis air mata. Saya sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali Allah dalam hati.
“Allah! Allah! Allah!” zikir saya.
“Dua. Dia ada dua.” Bisik suara ke telinga saya.
“Tidak, Dia hanya satu.” Tegas saya.
“Dua! Dua! Dua!” tengking suara itu.
“Ahad! Ahad!” saya bertegas lagi.
“Dua. Percayalah Dia ada dua.” Suara itu semakin kuat dan mendekat pada rongga telinga hingga membuatkan saya terjaga.
“Ah. Saya bermimpi rupanya.” Bisik saya dalam hati. Lalu mengisyaratkan meludah tiga kali ke kiri. Tubuh saya dipenuhi peluh menyebabkan bantal dan tilam saya sedikit basah. Di dalam terasa sakit. Saya tahan. Jam sudah menuju 4.00pagi. Saya bangun mengambil air minuman di atas meja. Air yang telah dijampi dengan ayat-ayat suci al-Quran dan doa-doa mathur oleh Ustaz Burhanuddin. Ketika menghulurkan tangan menggapai air tersebut, tangan kanan saya tiba-tiba kesakitan. Seperti ditusuk sebilah pisau. Saya tidak mampu menggerakkan tangan itu dengan sempurna. Tiba-tiba tangan saya terasa sakit. Tanpa sebab dan musabab. Apakah semua ini.
“Ya Allah, jangan kau uji aku dengan sesuatu yang tidak mampu aku hadapi.” Bisik saya. hati saya luluh. Terasa lemah pada segenap tubuh. Saya tidak punya kekuatan. Hanya ingatan pada Allah penjamin kehidupan. Saya sepertinya sedang bertarung dengan sesuatu. Saya tidak tahu itu apa. Saya tidak melihatnya. Hanya suara dan bisikan yang kadang kala menganggu fikiran. Saya merasa ada orang lain yang sedang bersama dengan saya. Sedang dibilik hanya saya seorang sahaja, tiada berteman. Apakah ini semua?
Saya tidak mahu terus memikirkannya dengan dalam. Saya sudah tidak kuat lagi. Kudrat saya seakan berada dihujung mata pedang. Saya rebahkan tubuh yang semakin longlai pada katil. Saya seperti mahu terlelap lagi.
Azan subuh yang berkumandang pada corong masjid universiti mengejutkan saya dari pembaringan. Saya cuba bangkit. Tangan kanan saya masih sakit. Saya paksakan diri. Kepala terasa berat tapi saya tahan dan saya kuatkan. Saya mendirikan solat di dalam bilik sahaja. Saya tidak kuat untuk ke masjid. Dalam sujud saya pinta sungguh-sungguh kepada Allah agar mengurangkan kesakitan yang saya alami saat ini. Ubun-ubun kepala terasa sakit lagi. kepala seperti ditusuk tombak. Sangat sakit. Saya cuba bangun melangkah mendapatkan segelas air. Lalu saya tidak tahu apa yang terjadi. Hanya kilatan cahaya putih yang terlihat lalu gelap seluruhnya.
Dalam kekaburan gelap saya melihat ada cahaya. Perlahan-lahan saya membuka mata. Yang kelihatan hanya warna putih. Kepala masih terasa berat. Saya pandang keliling. Samar-samar saya melihat seperti wajah Asmar.
“Alhamdulillah. Zaid sudah sedar?” suara Asmar serak. Saya pandang wajahnya.
“S..saya di...di mana Mar?” lidah terasa kelu sekali.
“Di hospital.” lirih Asmar.
“Kenapa?”
“Zaid rehat ya. Jangan fikirkan apa-apa dulu.”
Saya cuba mengingat-ingat apa yang terjadi pada sehingga saya bisa berada di sini. Kepala masih terasa pedih. Asmar memandang saya dengan mata berkaca.
“Sudah pukul berapa Mar?” tanya saya.
“Dekat pukul 2.00 pagi.”
“Saya belum solat Zohor, Asar, Maghrib dan Isyak.” Keluh saya. Saya lalu bangkit. Tapi seluruh tubuh terasa lumpuh. Kepala tiba-tiba terasa sakit sekali.
“Aduuh! Astaghfirullah!” saya menahan sakit tiada terkira.
“Kenapa Zaid?”
“Kepala saya terasa sakit sangat.” Bisik saya lalu semuanya kembali terasa gelap.
Saya mendengar suara orang menyeru sama seperti malam itu.
“Tuhan ada dua.”
“Dua! Dua! Dua...” semakin dekat suara itu bergema ditelinga. Saya cuba melawan dan terus bertegas.
“Satu! Satu! Tuhan itu satu. Allahu ahad...” dalam sesak saya cuba berbicara tegas. Tiba-tiba jantung saya terasa seperti ditikam puluhan jarum-jarum. Sangat menyakitkan. Nafas terasa menyesakkan. Saya tidak tahan. Saya meraung kesakitan. Saya menangis. Saya ulang-ulang membaca ayat Kursi dan doa pelindung. Saya berselawat Syifa’. Daun telinga saya menangkap suara bacaan ayat-ayat suci al-Quran. Saya merasa ada sentuhan halus di pipi. Saya mengerjapkan mata.
“Anakku, kau sudah sedar,” suara serak seorang lelaki. Saya berusaha membuka mata selebarnya. Semakin terang. Saya melihat wajah bersih. Dia duduk di kursi dekat dengan dada saya.
“Us..Ustaz?!” saya cuba memanggilnya, tapi cuma bibir yang saya rasa bergerak tanpa suara.
“Ya anakku, bagaimana keadaamu. Apa yang kau rasa sekarang?” ia mendekatkan wajahnya ke wajah saya. saya seakan melihat ada dua orang wanita sedang berdiri kaku memerhatikan saya. seorang berbaju biru laut bertudung labuh. Dan seorang lagi? saya rasa kenal orang itu. Berbaju gelap memakai niqab.
“Za..Zahra.” seru saya dalam hati.
Saya melihat di sebelah kanan ada tiang besi putih, ada tabung infus tergantung di sana. Di bawah tabung ada selang kecil mengalirkan air infus ke dalam nadi tangan kanan saya. Air infus terus menitis seperti embun di musim hujan. Saya kembali merasakan pedih dalam tempurung kepala. Seperti ada ratusan paku menancap. Saya berusaha menahan dengan memejamkan mata dan otot rahang menegang.
“Kepala saya terasa sakit sekali.”
“Biar saya panggil doktor.” aju wanita berniqab itu lalu hanya hayunan kaki terlihat kabur berlalu. Tidak lama kemudian datang seorang doktor lelaki. Doktor itu memasang menempelkan tangannya di kening saya. Memeriksa tekanan darah saya. Memasang termometer sebesar pena di ketiak. Dan dengan suara yang lembut menanyakan apa yang saya rasakan serta membujuk hati saya. Ia lalu mengambil termometer dan melihatnya. Lalu menuliskan sesuatu di dada fail yang di bawanya. Kemudian menyuntikkan sesuatu lewat jarum selang infus yang menancap di tangan kanan.
“Suntikan untuk meredakan rasa sakit. Kamu akan cepat sembuh,” kata doktor itu. Zahra' mengamati dengan saksama apa yang dilakukan doktor itu pada saya. Ia berdiri di samping ranjang bersebelahan ibunya. Wajahnya yang ditutupi kain, hanya matanya yang bisa terlihat. Saya melihat ada manik-manik jernih pada celah matanya. Sekejap ia menyapu manik itu.
“Ah, aku paling tidak tahan melihatnya menitiskan air mata.” Bisik saya dalam-dalam.
bersambung...
Dhiya’
Universiti Sultan Zainal Abidin
Kuala Terengganu